Rabu, 20 Juli 2011

Hilangnya Kitab-Kitab Nuswantara (Bagian II)

oleh Prameswaratungga Mas Tofa pada 19 Juli 2011 jam 9:08
Hilangnya Kitab-Kitab Nuswantara (Bagian II)
Oleh Mas Tofa

Pengakuan dan pujian terhadap nilai positif buku telah banyak dilakukan orang. Bahwa buku adalah jendela ilmu pengetahuan, buku adalah mercusuar kehidupan, buku adalah petunjuk dan guru terbaik, dan lain-lain. Ada pula yang mengapresiasi buku dengan bahasa yang lain, misalnya, kalau saya tidak salah ingat, Haji Agus Salim (?) pernah mengatakan, "Mencoret buku adalah kejahatan, menyobek buku juga kejahatan. Dan kejahatan terbesar terhadap buku adalah tidak membaca buku."


Hilangnya buku-buku warisan leluhur sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pertama tulisan ini dengan kata lain membuat kita berlaku dzalim atau jahat karena akibatnya, kita tidak pernah membacanya. Artinya, kita tidak memahami dan mengamalkan ilmunya. Secara biologis kita ini keturunan orang Nuswantara, tetapi secara spirit, isi batin sadar dan tidak sadar kita, yang kemudian ngejowantah dalam sikap hidup dan perilaku kita mungkin tidak ada hubungannya dengan ilmu Nuswantara yang ada dalam warisan tersebut.

Lalu bagaimana dengan buku-buku yang masih dapat ditemukan dan dipelajari seperti sering dikaji oleh para sarjana sekolahan warisan Barat? Setidaknya ada dua penjelasan yang bisa tercatat di sini. Pertama, buku-buku yang itu kurang memadai untuk menjadi representasi jagad batin orang Nuswantara. Ini memang masih hipotesis, tetapi kita bisa ajukan beberapa pertanyaan penting terkait hal ini. Misalnya saja Gajah Mada adalah orang ampuh di jamannya. Bahkan tersohor sampai sekarang. Tetapi kenapa untuk mengidentifikasi wajah beliau seperti apa, misalnya, kita kesulitan sehingga tiba-tiba kini kita sadar bahwa gambar Gajah Mada yang kita yakini sejak Sekolah Dasar ternyata 100% bukan wajah beliau melainkan sekedar patung biasa, atau bahkan celengan uang. Mungkinkah sosok sehebat beliau tidak ada satupun pujangga yang menulis kisahnya secara komprehensif? Kalau Anda menjawab, mungkin. Dengan alasan bahwa tradisi Nuswantara adalah sejarah lisan. Maka perlu dikatakan di sini bahwa pemahaman seperti itu adalah doktrin Barat untuk melancarkan misinya memberangus sejarah kebesaran bangsa kita. Layakkah sejarah yang dibuat oleh para penjahat kita percarai 100%...

Kemudian tentu saja hasil riset pustaka Nuswantara Nancy K. Florida yang telah membaca ribuan judul kitab jauh melebihi kita. Baginya, sejarah, kisah-kisah, tentang Nuswantara yang dibangun oleh rejim kolonial telah mengabaikan khasanah pustaka Nuswantara yang bejibun itu. Artinya, kalau kita baru menguasai beberapa judul kitab saja, masih banyak pe-er yang harus dikerjakan. Meskipun misalnya, bahwa kitab yang kita kuasai adalah kitab babon seperti Alqur'an bagi orang Arab.

Penjelasan kedua, adalah adanya hukum distorsi sejarah akibat lamanya waktu yang dilalui oleh kitab-kitab itu. Semalam misalnya, ada kirab dari Kota Gede menuju Kraton Yogyakarta untuk memperingati 5 abad Sunan Kalijaga. Jika Anda bertanya kepada 10 orang peserta kirab tentang sosok Sunan Kalijaga, jawabannya akan berbeda-beda tergantung sumber sejarah yang mereka punyai. Di luar sumber sejarah resmi, mungkin mereka membuat gambaran sendiri yang dalam pandangan ilmu sejarah menjadi mitos. Hal ini adalah wajar mengingat sumber sejarah Sunan Kalijaga juga dinilai kurang memadai oleh para sejarawan terutama yang "beraliran materialisme murni."

Banyak faktor yang mempengaruhi distorsi sejarah, terutama sekali adalah faktor politik. Belanda membuat sejarah Nuswantara sendiri bukanlah tanpa tujuan. Merekonstruksi masa lampau bukan pekerjaan iseng oleh para pengangguran. Bukan! Semua yang dilakukan tentu dalam rangka mencapai tujuan yang diimpikan kaum penjajah itu. Distorsi yang nyata bisa kita lihat sekarang misalnya imej terhadap kitab-kitab Nuswantara yang keliru. Kekeliruan ini berakibat negatif terhadap sikap kita pada karya adiluhung tersebut yakni sikap cuek atau tidak mempedulikannya. Banyak dari anak negeri ini kenal Betal Jemur (serapan bahasa Arab bait al jumhur), tapi tidak mengerti apa isinya. Mengetahui Serat Centhini dari penjelasan yang mengatakan itu adalah buku seksnya orang Jawa. Kitab Adam Makna? Ah, itu buku primbon.

Karena itu dianggap sebagai buku primbon, berisi ramalan-ramalan yang kagak jelas, akhirnya kita tidak tertarik lagi untuk membacanya. Padahal di Kitab itu tertulis nasib Nuswantara hari ini yang sedang terkena kutuk. Kenapa anak-anak muda kita banyak yang sulit tidur malam, menghabiskan waktu di diskotik? Jelas mereka tidak menyadari kasunyatan urip yang sedang terjadi. Inilah yang, menurut hemat saya lho, kita adalah bangsa yang tercerabut dari realitas, hilang hubungan dengan kenyataan. Dalam bahasa psikolog disebut skizofrenia, istilahnya Raden Ronggowarsito, edan. Bagaimana nggak edan, lha wong lagi dikutuk kok malah ngef-ly.

Wong Jowo ilang Jawane (orang Jawa ilang Jawanya) telah terjadi karena memang telah laman kehilangan paugeran (aturan hidup) yang juga tersurat dan tersirat dalam kitab-kitab Nuswantara yang hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar