Hilangnya Kitab-Kitab Nuswantara (Bagian II)
oleh Prameswaratungga Mas Tofa pada 19 Juli 2011 jam 9:08
Hilangnya Kitab-Kitab Nuswantara (Bagian II)
Oleh Mas Tofa
Pengakuan
dan pujian terhadap nilai positif buku telah banyak dilakukan orang.
Bahwa buku adalah jendela ilmu pengetahuan, buku adalah mercusuar
kehidupan, buku adalah petunjuk dan guru terbaik, dan lain-lain. Ada
pula yang mengapresiasi buku dengan bahasa yang lain, misalnya, kalau
saya tidak salah ingat, Haji Agus Salim (?) pernah mengatakan, "Mencoret
buku adalah kejahatan, menyobek buku juga kejahatan. Dan kejahatan
terbesar terhadap buku adalah tidak membaca buku."
Hilangnya
buku-buku warisan leluhur sebagaimana telah dikemukakan pada bagian
pertama tulisan ini dengan kata lain membuat kita berlaku dzalim atau
jahat karena akibatnya, kita tidak pernah membacanya. Artinya, kita
tidak memahami dan mengamalkan ilmunya. Secara biologis kita ini
keturunan orang Nuswantara, tetapi secara spirit, isi batin sadar dan
tidak sadar kita, yang kemudian ngejowantah dalam sikap hidup dan perilaku kita mungkin tidak ada hubungannya dengan ilmu Nuswantara yang ada dalam warisan tersebut.
Lalu
bagaimana dengan buku-buku yang masih dapat ditemukan dan dipelajari
seperti sering dikaji oleh para sarjana sekolahan warisan Barat?
Setidaknya ada dua penjelasan yang bisa tercatat di sini. Pertama, buku-buku
yang itu kurang memadai untuk menjadi representasi jagad batin orang
Nuswantara. Ini memang masih hipotesis, tetapi kita bisa ajukan beberapa
pertanyaan penting terkait hal ini. Misalnya saja Gajah Mada adalah
orang ampuh di jamannya. Bahkan tersohor sampai sekarang. Tetapi kenapa
untuk mengidentifikasi wajah beliau seperti apa, misalnya, kita
kesulitan sehingga tiba-tiba kini kita sadar bahwa gambar Gajah Mada
yang kita yakini sejak Sekolah Dasar ternyata 100% bukan wajah beliau
melainkan sekedar patung biasa, atau bahkan celengan uang. Mungkinkah
sosok sehebat beliau tidak ada satupun pujangga yang menulis kisahnya
secara komprehensif? Kalau Anda menjawab, mungkin. Dengan alasan bahwa
tradisi Nuswantara adalah sejarah lisan. Maka perlu dikatakan di sini
bahwa pemahaman seperti itu adalah doktrin Barat untuk melancarkan
misinya memberangus sejarah kebesaran bangsa kita. Layakkah sejarah yang
dibuat oleh para penjahat kita percarai 100%...
Kemudian
tentu saja hasil riset pustaka Nuswantara Nancy K. Florida yang telah
membaca ribuan judul kitab jauh melebihi kita. Baginya, sejarah,
kisah-kisah, tentang Nuswantara yang dibangun oleh rejim kolonial telah
mengabaikan khasanah pustaka Nuswantara yang bejibun itu. Artinya, kalau
kita baru menguasai beberapa judul kitab saja, masih banyak pe-er yang
harus dikerjakan. Meskipun misalnya, bahwa kitab yang kita kuasai adalah
kitab babon seperti Alqur'an bagi orang Arab.
Penjelasan kedua, adalah
adanya hukum distorsi sejarah akibat lamanya waktu yang dilalui oleh
kitab-kitab itu. Semalam misalnya, ada kirab dari Kota Gede menuju
Kraton Yogyakarta untuk memperingati 5 abad Sunan Kalijaga. Jika Anda
bertanya kepada 10 orang peserta kirab tentang sosok Sunan Kalijaga,
jawabannya akan berbeda-beda tergantung sumber sejarah yang mereka
punyai. Di luar sumber sejarah resmi, mungkin mereka membuat gambaran
sendiri yang dalam pandangan ilmu sejarah menjadi mitos. Hal ini adalah
wajar mengingat sumber sejarah Sunan Kalijaga juga dinilai kurang
memadai oleh para sejarawan terutama yang "beraliran materialisme
murni."
Banyak faktor yang mempengaruhi distorsi sejarah,
terutama sekali adalah faktor politik. Belanda membuat sejarah
Nuswantara sendiri bukanlah tanpa tujuan. Merekonstruksi masa lampau
bukan pekerjaan iseng oleh para pengangguran. Bukan! Semua yang
dilakukan tentu dalam rangka mencapai tujuan yang diimpikan kaum
penjajah itu. Distorsi yang nyata bisa kita lihat sekarang misalnya imej
terhadap kitab-kitab Nuswantara yang keliru. Kekeliruan ini berakibat
negatif terhadap sikap kita pada karya adiluhung tersebut yakni sikap cuek atau tidak mempedulikannya. Banyak dari anak negeri ini kenal Betal Jemur (serapan bahasa Arab bait al jumhur), tapi tidak mengerti apa isinya. Mengetahui Serat Centhini dari penjelasan yang mengatakan itu adalah buku seksnya orang Jawa. Kitab Adam Makna? Ah, itu buku primbon.
Karena itu dianggap sebagai buku primbon, berisi ramalan-ramalan yang kagak
jelas, akhirnya kita tidak tertarik lagi untuk membacanya. Padahal di
Kitab itu tertulis nasib Nuswantara hari ini yang sedang terkena kutuk.
Kenapa anak-anak muda kita banyak yang sulit tidur malam, menghabiskan
waktu di diskotik? Jelas mereka tidak menyadari kasunyatan urip yang sedang terjadi. Inilah yang, menurut hemat saya lho, kita adalah bangsa yang tercerabut dari realitas, hilang hubungan dengan kenyataan. Dalam bahasa psikolog disebut skizofrenia, istilahnya Raden Ronggowarsito, edan. Bagaimana nggak edan, lha wong lagi dikutuk kok malah ngef-ly.
Wong Jowo ilang Jawane (orang Jawa ilang Jawanya) telah terjadi karena memang telah laman kehilangan paugeran (aturan hidup) yang juga tersurat dan tersirat dalam kitab-kitab Nuswantara yang hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar